PATROLI POST

Kabar Terbaru dari Bali

Minggu, 10 Januari 2010

Calon Incumbent Berpotensi Korup

Semakin dekatnya waktu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) kabupaten/kota di Bali (4 Mei mendatang, red), menimbulkan kekhawatiran sejumlah kalangan. Kekhawatiran tersebut, terkait keleluasaan akses yang dimiliki oleh calon incumbent.
DENPASAR (Patroli Post) - Pengamat politik dari Sugeng Sarjadi School of Goverment (SSSG), M. Fadjroel Rahman menilai, calon incumbent sangat potensial untuk melakukan tindak pidana korupsi. ”Makanya ini perlu diawasi dengan baik. Terutama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam dinamika Pilkada, seperti Panwaslu dan KPUD,” ujarnya di sela-sela diskusi Membedah Budaya Korupsi di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Komunitas Perkusi, di kampus Unud, Minggu (10/1) kemarin.
Dalam kesempatan itu Fadjroel mengatakan, biasanya calon incumbent menggunakan dana APBD untuk membuat baliho kampanye di sejumlah instansi daerah. Selain itu, fasilitas negara yang dimiliki calon incumbent juga sangat potensial untuk dimobilisasi demi kepentingan pribadi pemenangan calon tersebut.
Untuk itu, koordinator Koalisi Masyarakat Anti Korupsi alias KOMPAK ini juga meminta kepada pihak terkait, untuk membongkar kasus ini jika terjadi dalam Pilkada Bali. “Tujuannya agar persoalan korupsi yang dilakukan incumbent ini tidak bergeser maknanya hanya sebatas pelanggaran pemilu saja. Sebab, ini ada penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi loh,” tegas mantan aktifis yang pernah dibui rezim Soeharto ini.
Lebih jauh, Fadjroel menjelaskan, dikatakan korupsi, karena calon incumbent memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Segala upaya yang dilakukan untuk memperkaya diri atau orang lain, kata dia adalah tindakan korupsi yang menyengsarakan masyarakat banyak.
”Termasuk juga dalam ranah Pilkada, korupsi itu juga terjadi. Hasil riset saya di Jakarta menunjukkan hal tersebut. Apalagi, ketika menyatakan diri maju kembali, calon incumbent sudah harus mengundurkan diri. Jadi potensi korupsi terbuka lebar,” tandasnya.
Fadjroel menyatakan, potensi korupsi calon incumbent bisa juga terlihat dari fasilitas yang digunakan untuk kepentingan kampanye. Sebut saja misalnya gedung yang digunakan serta fasilitas mobil.
Menurutnya, itu merupakan fasilitas negara, yang tidak boleh lagi digunakan. Selain itu, Fadjroel juga mencontohkan soal fasilitas istimewa yang diperlakukan bagi calon incumbent ini. Dia menilai, perlakuan demikian, merupakan titik awal terjadinya praktik perampokan uang haram tersebut.
”Banyak modusnya. Tapi yang patut diingat, calon incumbent itu punya akses yang luas terhadap APBD dan fasilitas lainnya. Untuk itu, selain KPUD dan Panwaslu, saya meminta lembaga independen juga memantau hal ini,” pinta Capres independen 2004 ini.
Senada dengan Fadroel, pengamat sosial dari Jaringan Informasi Kerja Alternatif (JIKA), I Gusti Ngurah Komang Karyadi mengatakan, perlunya mewaspadai praktik korupsi yang dilakukan oleh calon incumbent. Dia menyebutkan, calon incumbent memiliki keleluasaan akses yang luas terhadap penguasaan modal di pemerintahan yang dapat direduksi menjadi alat kampanye.
”Untuk itu, seluruh masyarakat harus melakukan pengawasan terhadap hal ini. Sebab biasanya, calon incumbent berdalih bertugas sebagai kepala daerah ketika menggunakan uang negara untuk kepentingan kampanye tersebut,” tegas Karyadi, yang dikenal sebagai aktifis multi talenta ini.
Bagaimana peluang aturan hukum yang memungkinkan calon incumbent melakukan tindak korupsi? Pengamat hukum dari Universitas Udayana, AA. Gede Duwi Hadi Santosa mengemukakan, selama masa kampanye, calon incumbent memiliki akses terhadap pelaksanaan regulasi, sehingga sulit membedakan di posisi mana calon incumbent tersebut sedang sebagai calon yang bertindak untuk kepentingannya sendiri, dan sedang melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah.
Peluang ini, kata dia, membuat incumbent dapat memanfaatkan apapun untuk kemenangannya. ”Yang patut diingat, dalam kapasitasnya sebagai calon incumbent, seseorang tidak diperkenankan menggunakan dana dari APBD atau keuangan daerah lainnya untuk menggerakkan tim suksesnya dalam rangka pemenangannya sebagai kandidat,” tegasnya.
Dikatakan Santosa, peluang ini yang biasanya dimanfaatkan oleh calon incumbent. Kendati begitu, imbuhnya, biasanya kandidat incumbent akan berdalih sedang bertugas sebagai kepala daerah, ketika kedapatan menggunakan keuangan atau fasilitas negara.
”Sehingga titik persinggungan yang sulit diurai ada di titik itu. Tinggal, kita meminta kepada lembaga terkait, dalam hal ini Panwaslu yang harus berani bertindak tegas atas hal itu,” demikian Santosa. bob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar