
Stasiun TV CNN menyebutkan, 63 persen warga AS ingin para anggota Kongres yang sekarang tidak terpilih lagi karena terlalu banyak kompromi yang terjadi. Kompromi politik itu sudah tak bisa lagi diterima karena hal itu tak lagi mengindahkan ideologi yang diusung masing-masing anggota Kongres.
Kompromi seringkali melanggar nilai-nilai dasar yang diusung masing-masing partai politik. Dengan demikian, atas nama kompromi politik para anggota Kongres dari Partai Republik bersedia mengorbankan ideologi konservatif. Sedangkan anggota Kongres dari Partai Demokrat tak lagi menganggap nilai-nilai liberal sebagai batas akhir dimana kompromi politik harus dihentikan.
Dengan kata lain, rakyat AS tak lagi bisa membedakan, apakah seorang anggota Kongres berasal dari partai Demokrat yang Liberal atau Partai Republik yang Konservatif. Kompromi politik telah mendorong munculnya pragmatisme melampaui ideologi yang menjadi trade mark masing-masing partai politik.
Jika di AS kompromi politik mulai melunturkan ideologi partai, di Indonesia ideologi sudah lama tak lagi menjadi faktor pembeda setiap partai politik yang bersaing dalam pemilu. Kita memang mengenal dua kubu partai, yaitu Islam dan Nasionalis. Tetapi hal itu hanya penggambaran di atas kertas.
Pada realitasnya, partai-partai Islam dan Nasionalis begitu mudah melakukan kompromi sehingga tak lagi terpancar pemisahan secara ideologi. Konfigurasi koalisi antara partai politik di Indonesia bisa terjadi dalam titik yang begitu ekstrem. Partai-partai Islam bukan mustahil berkoalisi dengan partai Nasionalis. Bahkan di beberapa daerah Partai Islam dan Kristen berkoalisi untuk mendukung paket yang sama dalam sebuah Pilkada.
Lalu kenapa partai-partai di Indonesia tidak memiliki ideologi yang khas sehingga bisa dengan mudah dibedakan dari partai-partai lain? Hal ini karena partai-partai politik yang saat ini ada didirikan untuk menampung ego para politisi yang merasa tak punya cukup ruang di partai lain. Partai-partai bukan didirikan untuk mendukung ideologi tertentu seperti halnya di negara-negara Eropa atau AS.
Dengan demikian maka tidak mengherankan bahwa kompromi politik di DPR maupun DPRD akan terjadi tanpa halangan ideologi melainkan mulus berlangsung di atas kepentingan politik sesaat. Tak perlu diherankan jika hasil akhir Pansus Skandal Bank Century pun tidak semata-mata menggambarkan hasil penyelidikan yang objektif, melainkan juga tingkat kompromi diantara partai-partai yang memiliki anggota di Pansus tersebut.