Terkait Penyimpangan di BPD Bali
Hasil audit BPK terkait kebocoran penyimpangan dana di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali dan sejumlah SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, dapat dijadikan bukti awal bagi proses penyidikan lebih lanjut terhadap dugaan tindak pidana korupsi.
DENPASAR (Patroli Post) - Demikian ditegaskan pengamat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Rai Setyabudi, SH, MS, saat dimintai komentarnya, Kamis (4/2) kemarin.
Kepada Patroli Post, mantan Dekan Fakultas Hukum Unud ini mengatakan, setelah ditemukannya bukti penyimpangan dana oleh BPK, pihak kepolisian atau kejaksaan hendaknya segera turun tangan untuk menindaklanjuti persoalan tersebut.
Penyidikan itu, kata dia, untuk mengetahui lebih jauh unsur pidana yang terdapat dari kebocoran anggaran pendapatan dan belanja daerah tersebut. “Kalau temuannya karena kesalahan administratif, maka selesaikan melalui mekanisme administratif. Sebaliknya, jika mengandung unsur pidana, maka perfsoalan itu sudah masuk indikasi dugaan korupsi dan harus diselesaikan lewat jalur hukum pidana,” tandas Setyabudi.
Hal penting yang perlu ditekankan, lanjut dia adalah mencari dugaan awal unsur memperkaya diri sendiri, sebagaimana diatur dalam delik tindak pidana korupsi. Jika itu terjadi, maka proses penyelesaiannya tidak bisa berhenti sampai pada penyelesaian proses administratif saja. “Maka harus dibongkar kasusnya. Kalau terjadi penyimpangan, seperti adanya unsur memperkaya diri, maka hal itu dapat digolongkan sebagai delik pidana (korupsi, red),” urai dia.
Hal senada juga disampaikan Ketua Bali Corruption Watch (BCW), Putu Wirata Dwikora. Menurut pria yang getol menyorot kasus korupsi di Bali ini, dirinya sangat menyayangkan sikap BPD yang melakukan penyimpangan sesuai dengan temuan BPK RI.
BCW sendiri, kata dia, akan menindaklanjuti kasus ini dengan melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK dan kaukus anti korupsi DPD RI di Jakarta. “Segera akan kita laporkan,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan Wirata, jauh sebelum temuan BPK saat ini, kasus serupa pernah muncul pada tahun 2006 silam. Menurutnya, kasus sejenis seperti ini, pernah menyeret nama Dewa Made Berata, yang saat itu menjabat Gubernur Bali. “Pada saat itu Dewa Berata menerima uang Rp1,8 miliar dari BPD Bali. Padahal, pemberian dana fee tersebut sama sekali tidak sesuai dengan mekanisme perundang-undangan,” jelasnya.
Kendati begitu, Wirata sangat menyayangkan hingga kini kasus tersebut belum ditindaklajuti oleh KPK. Padahal, kasus ini sudah masuk di meja kantor KPK di Jakarta.
Sementara penegak hukum di Bali, lanjut dia, tidak dapat berbuat banyak terkait kasus tersebut. “Penegak hukum di Bali tidak jelas kinerjanya. Maka, kita juga sangat menyangsikan temuan BPK kali ini akan ditelusuri dan ditindaklajuti. Kita sanksikan komitmennya,” demikian Wirata.
Tindak Pemberian "Fee" BPD
Sebelumnya, Pimpinan "Indonesian Corruption Watch" (ICW) di Jakarta, Rabu (3/2) lalu, meminta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) segera mengambil tindakan tegas atas praktik pemberian "fee" dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) kepada kepala daerah.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Adnan Topan Husodo, mengatakan, pemberian "fee" kepada kepala daerah tersebut adalah tindakan ilegal dan melanggar hukum.
"Kami meminta pimpinan DPD bisa mengambil tindakan tegas atas tindakan ilegal dan melanggar hukum dari pimpinan BPD yang memberikan `fee` kepada kepala daerah," kata Adnan Topan Husodo usai menyampaikan hasil kajian ICW kepada pimpinan Komite IV DPD.
Menurut dia, persoalan pemberian "fee" dari BPD kepada kepala daerah adalah persoalan daerah yang menjadi polemik bagi masyarakat di daerah.
Adnan meminta, DPD sebagai representasi perwakilan masyarakat daerah bisa mengatasi persoalan ini dengan melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri dan pimpinan BPD.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Agus Sunaryanto mengatakan, ICW sedang menelusuri hubungan antara kepala daerah dengan direksi BPD.
Agus menduga, pemberian "fee" dari direksi BPD kepada kepala daerah tidak diberikan begitu saja tapi ada keuntungan tertentu yang diterima direksi BPD.
"Di Provinsi Nusa Tenggara Barat pemberian `fee` ada kompensasinya yakni direksi BPD diuntungkan dengan kebijakan kepala daerah terkait dana pensiun," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, kejaksaan tinggi di beberapa provinsi telah telah memeriksa direksi BPD dan bahkan ada yang telah menetapkan sebagai tersangka. bob/yes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar