Oleh IGM PUJASTANA
Presiden Indonesia ketiga, BJ Habibie seolah menghilang dari hiruk pikuk politik Indonesia. Tak banyak hal yang bisa mendorongnya untuk angkat bicara. Tetapi setiap kali menyampaikan pendapatnya, kita mau tak mau terdorong untuk menyimak dan menjadikannya bahan renungan. Politik Indonesia, kata Habibie, sudah menjadi politik biaya tinggi. Habibie tidak merujuk pada satu kasus tertentu. Tetapi kita mahfum bahwa yang dimaksud adalah banyaknya uang yang harus dikeluarkan seorang calon legislatif (caleg) untuk bisa melenggang ke parlemen. Interaksi antara kandidat dan masyarakat pemilik hak suara tereduksi menjadi semata-mata hubungan antara pembeli dan penjual sebagaimana layaknya di pasar. Pemilik hak suara mematok harga tertentu untuk suaranya dan pembelinya, para kandidat itu, kemudian menawar. Harga cocok, transaksi pun terjadi.
Pemilihan umum 2009 lalu, sebagaimana halnya pemilu 2004, adalah sebuah pasar raksasa dimana posisi politik diperoleh melalui kesepakatan harga antara ‘pembeli’ dan ‘penjual’. Unsur-unsur lain di luar uang, seperti kredibilitas dan track record para kandidat sama sekali tak berperan. Maka tak heran jika di beberapa daerah, para caleg yang tersangkut kasus korupsi bisa menjadi peraup suara terbanyak.
Peristiwa seperti ini bisa lumrah terjadi dalam suatu kepolitikan yang bersifat patrimonialistik.
Patrimonialisme secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu kepolitikan dimana dukungan diperoleh melalui pemberian imbalan ekonomi secara langsung.
Dengan memanfaatkan perilaku pemilih yang bersifat patrimonialistik inilah, Presiden SBY dan partai Demokrat (PD) bisa mencapai kemenangan yang spektakuler pada pemilu 2009 lalu
Kata kuncinya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang tak lain tak bukan adalah pemberian imbalan ekonomi secara langsung dan tunai untuk ‘membeli’ dukungan pemilih.
Menurut Survei Lembaga Survai Indonesia (LSI), pada bulan Juni 2008, dukungan terhadap Partai Demokrat (PD) hanya 8,7 persen, jauh di bawah PDIP (24,2 persen) dan Golkar (19,7 persen).
Pada saat yang sama, tingkat keterpilihan SBY lebih rendah 5 persen dibandingkan dengan Megawati.
Ahli politik National University Australia, Dr Marcus Mietzner mengatakan, banyak analis politik menilai para pemilih mulai jenuh dengan kepemimpinan SBY yang disebutnya sebagai ‘unspiring leadership’.
Tetapi tanpa di duga, pada bulan Juni tahun 2008 itu pula popularitas SBY dan PD mulai merangkak naik seiring dengan mulai digelontorkannya program populis pro rakyat miskin, seperti BLT, BOS dan PNPM Mandiri. Sepanjang Juni 2008 – April 2009 jumlahnya mencapai sekitar Rp 20 triliun. BLT, BOS`dan PNPM mandiri telah merubah secara dramatis imej dan personal style SBY. Karena itu tak heran pada bulan Februari 2009 popularitas SBY meroket menjadi 50.3 persen. Sedangkan dukungan terhadap Partai Demokrat mencapai 24,3 persen. Sementara itu popularitas Megawati dan PDPI merosot secara signifikan.
Mietzner menyebut kebijakan populis yang diterapkan SBY sebagai ‘Thaksinomics’.
Konsep ekonomi dengan memberi bantuan tunai pada masyarakat miskin pertama kali diterapkan mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra ketika memenangkan pemilu tahun 2001 lalu. Bukan hanya SBY yang tergoda menerapkan Thaksinomics ini. Partai berkuasa di India dan Philipina juga terinspirasi olehnya.
Thaksinomics dan Pilkada
Sekitar bulan Mei 2010, lima kabupaten/kota di Bali akan melangsungkan pilkada. Pada tahun 2010 itu lebih dari 250 kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan menyelenggarakan pilkada.
Pilkada 2010 nanti akan berlangsung dalam situasi dimana peran partai politik telah tereduksi secara signifikan. Sistem pilkada langsung dan dimungkinkannya calon independen non partai untuk ikut bersaing telah membuat peran partai politik menjadi kurang penting. Selain itu menurut Mietzner, hasil penelitian menunjukkan 75 persen responden merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan partai politik. Ini berarti para kandidat hanya bisa mengandalkan popularitasnya sebagai individu, bukan nama besar partai politik yang mengusungnya.
Calon incumbent memang memiliki keunggulan dibandingkan dengan calon lain, terutama dalam hal akses terhadap sumber daya pemerintahan dan jaringan patronase. Tetapi fakta menunjukkan bahwa 40 persen calon incumbent rontok di seluruh Indonesia dalam pilkada 2005. Di Bali sendiri beberapa calon incumbent rontok dalam pilkada 2005 dan 2007.
Para pemilih sepertinya tak ragu-ragu mendepak calon incumben yang tidak bisa memberikan layanan public service (baca : manfaat ekonomi langsung) dan menunjukkan performance buruk. Ketokohan dan kinerja selama lima tahun menjabat akan menjadi faktor kunci kemenangan incumbent.
Para calon incumbent yang menyelenggarakan kebijakan populis ala Thaksin akan memiliki kesempatan besar untuk memang. Kepala daerah yang bisa menjalankan kebijakan ekonomi populer berupa pengucuran dana tunai kemungkinan besar akan terpilih kembali. Sedangkan yang terlalu banyak menerapkan langkah politik kontroversial dipastikan akan terdepak.
Di Bali, kebijakan populis juga mencakup aktivitas kultur dan relijius. Sesungguhnya di tengah marjinalisasi peran partai politik, cara yang paling efektif untuk menjangkau para pemilih adalah dengan terlibat aktif dalam setiap acara adat dan agama.
Dengan demikian, kemurahan hati untuk mengucurkan bantuan secara tunai bagi aktivitas adat dan agama juga merupakan bagian penting dalam strategi Thaksinomics dalam pilkada di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar